November 07, 2010

Asal Usul Bahasa Indonesia


Bahasa Indonesia ialah sebuah dialek bahasa Melayu yang menjadi bahasa resmi Republik Indonesia Kata "Indonesia" berasal dari dua kata bahasa Yunani, yaitu Indos yang berarti "India" dan nesos yang berarti "pulau". Jadi kata Indonesia berarti kepulauan India, atau kepulauan yang berada di wilayah India.

Bahasa Indonesia diresmikan pada kemerdekaan Indonesia, pada tahun 1945. Bahasa Indonesia merupakan bahasa dinamis yang hingga sekarang terus menghasilkan kata-kata baru, baik melalui penciptaan, maupun penyerapan dari bahasa daerah dan asing. Bahasa Indonesia adalah dialek baku dari bahasa Melayu yang pokok-nya dari bahasa Melayu Riau. "jang dinamakan 'Bahasa Indonesia' jaitoe bahasa Melajoe jang soenggoehpoen pokoknja berasal dari 'Melajoe Riaoe', akan tetapi jang soedah ditambah, dioebah ataoe dikoerangi menoeroet keperloean zaman dan alam baharoe, hingga bahasa itoe laloe moedah dipakai oleh rakjat di seloeroeh Indonesia; pembaharoean bahasa Melajoe hingga menjadi bahasa Indonesia itoe haroes dilakoekan oleh kaoem ahli jang beralam baharoe” ialah alam kebangsaan Indonesia". sebagaimana diungkapkan oleh Ki Hajar Dewantara dalam Kongres Bahasa Indonesia I tahun 1939 di Solo, Jawa Tengah. atau sebagaimana diungkapkan dalam Kongres Bahasa Indonesia II 1954 di Medan, Sumatra Utara, "...bahwa asal bahasa Indonesia ialah bahasa Melaju. Dasar bahasa Indonesia ialah bahasa Melaju jang disesuaikan dengan pertumbuhannja dalam masjarakat Indonesia".

Secara sejarah, bahasa Indonesia merupakan salah satu dialek temporal dari bahasa Melayu yang struktur maupun khazanahnya sebagian besar masih sama atau mirip dengan dialek-dialek temporal terdahulu seperti bahasa Melayu Klasik dan bahasa Melayu Kuno. Secara sosiologis, bolehlah kita katakan bahwa bahasa Indonesia baru dianggap "lahir" atau diterima keberadaannya pada tanggal 28 Oktober 1928. Secara yuridis, baru tanggal 18 Agustus 1945 bahasa Indonesia secara resmi diakui keberadaannya.

Source : http://indonesialanguage.blogspot.com/

Majas atau gaya bahasa

Majas atau gaya bahasa adalah pemanfaatan kekayaan bahasa, pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek-efek tertentu, keseluruhan ciri bahasa sekelompok penulis sastra dan cara khas dalam menyampaikan pikiran dan perasaan, baik secara lisan maupun tertulis.

Dalam Bahasa Indonesia, majas terdiri dari 4 jenis:
1. majas sindiran
2. majas penegasan
3. majas pertentangan
4. majas perbandingan

Majas sindiran
1. Ironi: Sindiran dengan menyembunyikan fakta yang sebenarnya dan mengatakan kebalikan dari fakta tersebut.
Co: Bagus ya, masih SD sudah pandai merokok!
2. Sarkasme: Sindiran langsung dan kasar.
3. Sinisme: Ungkapan yang bersifat mencemooh pikiran atau ide bahwa kebaikan terdapat pada manusia (lebih kasar dari ironi).
Co: Dia baru makan jengkol. Nafasnya sungguh harum ...
4. Satire: Ungkapan yang menggunakan sarkasme, ironi, atau parodi, untuk mengecam atau menertawakan gagasan, kebiasaan, dll.
5. Innuendo: Sindiran yang bersifat mengecilkan fakta sesungguhnya.

Majas penegasan
1. Apofasis: Penegasan dengan cara seolah-olah menyangkal yang ditegaskan.
2. Pleonasme: Menambahkan keterangan pada pernyataan yang sudah jelas atau menambahkan keterangan yang sebenarnya tidak diperlukan.
3. Repetisi: Perulangan kata, frase, dan klausa yang sama dalam suatu kalimat.
4. Pararima: Pengulangan konsonan awal dan akhir dalam kata atau bagian kata yang berlainan.
5. Aliterasi: Repetisi konsonan pada awal kata secara berurutan.
6. Paralelisme: Pengungkapan dengan menggunakan kata, frase, atau klausa yang sejajar.
7. Tautologi: Pengulangan kata dengan menggunakan sinonimnya.
8. Sigmatisme: Pengulangan bunyi "s" untuk efek tertentu.
9. Antanaklasis: Menggunakan perulangan kata yang sama, tetapi dengan makna yang berlainan.
10. Klimaks: Pemaparan pikiran atau hal secara berturut-turut dari yang sederhana/kurang penting meningkat kepada hal yang kompleks/lebih penting.
11. Antiklimaks: Pemaparan pikiran atau hal secara berturut-turut dari yang kompleks/lebih penting menurun kepada hal yang sederhana/kurang penting.
12. Inversi: Menyebutkan terlebih dahulu predikat dalam suatu kalimat sebelum subjeknya.
13. Retoris: Ungkapan pertanyaan yang jawabannya telah terkandung di dalam pertanyaan tersebut.
14. Elipsis: Penghilangan satu atau beberapa unsur kalimat, yang dalam susunan normal unsur tersebut seharusnya ada.
15. Koreksio: Ungkapan dengan menyebutkan hal-hal yang dianggap keliru atau kurang tepat, kemudian disebutkan maksud yang sesungguhnya.
16. Polisindenton: Pengungkapan suatu kalimat atau wacana, dihubungkan dengan kata penghubung.
17. Asindeton: Pengungkapan suatu kalimat atau wacana tanpa kata penghubung.
18. Interupsi: Ungkapan berupa penyisipan keterangan tambahan di antara unsur-unsur kalimat.
19. Ekskalamasio: Ungkapan dengan menggunakan kata-kata seru.
20. Enumerasio: Ungkapan penegasan berupa penguraian bagian demi bagian suatu keseluruhan.
21. Preterito: Ungkapan penegasan dengan cara menyembunyikan maksud yang sebenarnya.
22. Alonim: Penggunaan varian dari nama untuk menegaskan.
23. Kolokasi: Asosiasi tetap antara suatu kata dengan kata lain yang berdampingan dalam kalimat.
24. Silepsis: Penggunaan satu kata yang mempunyai lebih dari satu makna dan yang berfungsi dalam lebih dari satu konstruksi sintaksis.
25. Zeugma: Silepsi dengan menggunakan kata yang tidak logis dan tidak gramatis untuk konstruksi sintaksis yang kedua, sehingga menjadi kalimat yang rancu.

Majas pertentangan
1. Paradoks: Pengungkapan dengan menyatakan dua hal yang seolah-olah bertentangan, namun sebenarnya keduanya benar.
Co: Badannya sih besar tapi nyalinya kecil
2. Oksimoron: Paradoks dalam satu frase.
3. Antitesis: Pengungkapan dengan menggunakan kata-kata yang berlawanan arti satu dengan yang lainnya.
4. Kontradiksi interminus: Pernyataan yang bersifat menyangkal yang telah disebutkan pada bagian sebelumnya.
5. Anakronisme: Ungkapan yang mengandung ketidaksesuaian dengan antara peristiwa dengan waktunya.

Majas perbandingan
1. Alegori: Menyatakan dengan cara lain, melalui kiasan atau penggambaran.
Co: Kakek dan nenek itu telah bersama-sama mengarungi bahtera pernikahan selama 50 tahun
2. Alusio: Pemakaian ungkapan yang tidak diselesaikan karena sudah dikenal.
Co: Jangan seperti kura-kura dalam perahu!
3. Simile: Pengungkapan dengan perbandingan eksplisit yang dinyatakan dengan kata depan dan pengubung, seperti layaknya, bagaikan, dll.
Co: Dia sedang stress. Pikirannya seperti benang kusut
4. Metafora: Pengungkapan berupa perbandingan analogis dengan menghilangkan kata seperti layaknya, bagaikan, dll.
Co: Dia adalah tulang punggung keluarganya
5. Antropomorfisme: Metafora yang menggunakan kata atau bentuk lain yang berhubungan dengan manusia untuk hal yang bukan manusia.
6. Sinestesia: Metafora berupa ungkapan yang berhubungan dengan suatu indra untuk dikenakan pada indra lain.
7. Antonomasia: Penggunaan sifat sebagai nama diri atau nama diri lain sebagai nama jenis.
8. Aptronim: Pemberian nama yang cocok dengan sifat atau pekerjaan orang.
9. Metonimia: Pengungkapan berupa penggunaan nama untuk benda lain yang menjadi merek, ciri khas, atau atribut.
Co: Ibu sudah berangkat ke Jakarta naik Garuda
10. Hipokorisme: Penggunaan nama timangan atau kata yang dipakai untuk menunjukkan hubungan karib.
11. Litotes: Ungkapan berupa mengecilkan fakta dengan tujuan merendahkan diri.
Co: Kalau ada waktu, mampirlah ke gubuk saya
12. Hiperbola: Pengungkapan yang melebih-lebihkan kenyataan sehingga kenyataan tersebut menjadi tidak masuk akal.
Co: Darahnya mendidih mendengar hinaan itu
13. Personifikasi: Pengungkapan dengan menyampaikan benda mati atau tidak bernyawa sebagai manusia.
Co: Nyiur melambai di tepi pantai
Co: Semilir angin menyapu lembut wajahnya
14. Depersonifikasi: Pengungkapan dengan tidak menjadikan benda-benda mati atau tidak bernyawa.
15. Pars pro toto: Pengungkapan sebagian dari objek untuk menunjukkan keseluruhan objek.
Co: Sudah lama batang hidungnya tidak kelihatan
Batang hidung mewakili keseluruhan persona
16. Totum pro parte: Pengungkapan keseluruhan objek padahal yang dimaksud hanya sebagian.
Co: Indonesia menang melawan Malaysia dalam final Piala Thomas
Padahal yang menang hanya satu orang pemain.
17. Eufimisme: Pengungkapan kata-kata yang dipandang tabu atau dirasa kasar dengan kata-kata lain yang lebih pantas atau dianggap halus.
Co: Permisi, saya mau ke belakang sebentar (maksudnya sih mau buang aer)
18. Disfemisme: Pengungkapan pernyataan tabu atau yang dirasa kurang pantas sebagaimana adanya.
19. Fabel: Menyatakan perilaku binatang sebagai manusia yang dapat berpikir dan bertutur kata.
20. Parabel: Ungkapan pelajaran atau nilai tetapi dikiaskan atau disamarkan dalam cerita.
21. Perifrase: Ungkapan yang panjang sebagai pengganti ungkapan yang lebih pendek.
22. Eponim: Menjadikan nama orang sebagai tempat atau pranata.
23. Simbolik: Melukiskan sesuatu dengan menggunakan simbol atau lambang untuk menyatakan maksud.

Cat : dari berbagai sumber

Unsur-unsur pembangun karya sastra fiksi


tema, latar, penokohan, alur, pesan, sudut pandang, dan konflik.

Tema merupakan ide dasar cerpen, sedangkan pesan merupakan nilai atau  nasihat yang akan disampaikan penulis kepada calon pembacanya. Tema bersifat umum, misalnya percintaan remaja, persahabatan, petualangan, dan kesetiakawanan sosial. Pesan lebih spesifik atau lebih khusus dan merupakan penjabaran lebih lanjut dari tema.

Latar cerita merujuk kepada latar fisik, psikologis, dan sosial. Latar fisik berupa tempat, lokasi, kota atau lainnya yang secara fisik tampak atau dapat diamati.

Penokohan adalah proses menghadirkan tokoh oleh penulis fiksi. Pengarang atau penulis karya sastra fiksi dapat menampilkan tokoh dengan berbagai cara, di antaranya melalui narasi pengarang, dialog antartokoh, tingkah laku tokoh, penulisan fisik tokoh, komentar tokoh terhadap tokoh lain, penciptaan latar, dan perpaduan dari cara-cara itu.

Alur dan konflik mempunyai hubungan yang sangat erat, selain unsur-unsur yang lain. Alur adalah rangkaian peristiwa yang membangun keutuhan cerita fiksi. Selanjutnya, rangkaian peristiwa yang terikat oleh latar yang di dalamnya terdapat tokoh secara bersama-sama akan membangun konflik. Secara sederhana, konflik itu dimulai dari adanya pertentangan, menuju klimaks, dan mengarah menuju penyelesaian.

Sudut pandang merujuk pada sudut pandang penulis dalam mendudukkan keseluruhan cerita. Sudut pandang sebagai orang pertama, orang kedua, orang ketiga, dan orang serba bisa akan berpengaruh terhadap jalannya cerita dan akhir dari cerita itu.

Cat : dari berbagai sumber